Minggu, 13 November 2016

Sebuah Kunci untuk Mendapatkan Rasa Percaya dari Orang Lain

Sabdo Pendito Ratu Tan Kena Wola Wali


Salah satu kriteria dalam menilai seseorang adalah perkataan, dimana setiap perkataan yang diucapkan oleh seseorang adalah perwujudan dari apa yang ada dalam pemikiran dan hatinya. Di dalam masyarakat Jawa, perkataan adalah sebuah hal yang sangat dihargai sekaligus menjadi tolok ukur awal seorang pribadi itu merupakan orang yang cukup berharga atau hanya sebatas biasa saja atau bahkan dianggap kurang baik. Begitu pentingnya masalah yang berhubungan dengan perkataan dalam budaya Jawa sehingga ada beberapa ungkapan yang intinya adalah tentang perkataan.

Salah satu ungkapan tentang perkataan tersebut adalah "sabdo pendito ratu tan kena wola wali" seperti yang tercantum dalam gambar di atas. Marilah kita artikan satu per satu kata dalam ungkapan tersebut.
Sabdo adalah perkataan/sabda/ucapan.
Pendito/pandito adalah pendeta/ulama/pemimpim agama atupun spiritual.
Ratu adalah raja/pemimpin pemerintahan.
Tan kena adalah tidak boleh.
Wola wali adalah berubah-ubah/tidak konsisten.
Apabila secara keseluruhan dapat diartikan "perkataan seorang pemimpin spiritual dan raja tidak boleh berubah ubah".


Seorang raja dan seorang pemimpin spiritual/agama merupakan sosok panutan dari rakyatnya atau penganut agama yang sangat menaruh hormat dan rasa percaya yang mendalam kepada mereka, sehingga apa pun yang mereka katakan akan dilakukan oleh pengikut mereka. Dengan kondisi tersebut maka seorang pemimpin harus selalu konsisten terhadap apa yang sudah dikatakannya dan juga bertanggung jawab penuh dari apa pun yang sudah diucapkannya termasuk resiko yang timbul.

Pada jaman dahulu ungkapan ini memang ditujukan untuk mengingatkan para pemimpin yang ada di dalam masyarakat Jawa agar selalu konsisten terhadap segala perkataan yang sudah diucapkan sehingga tidak membuat bingung masyarakat yang mendengarkannya. Satu hal lagi mengapa pemimpin masyarakat harus konsisten terhadap perkataannya adalah karena salah satu kriteria dalam masyarat Jawa mengenai hubungan perkataan dan berharganya seseorang. Tetapi seiring dengan perkembangan yang ada pada saat ini maka ungkapan tersebut tertuju kepada setiap orang yang ada di dalam masyarakat Jawa untuk selalu konsisten dalam perkataan dan juga perbuatannya.

Pada saat ini konsisten dalam perkataan adalah sebuah tolok ukur yang sudah secara umum dipakai dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan bisnis dan organisasi, sehingga apabila seseorang mempunyai konsistensi dalam perkataan dan perbuatannya maka pastilah orang tersebut akan mendapatkan banyak rasa percaya dari orang yang berhubungan dengannya. Demikianlah yang saya pahami tentang ungkapan Jawa "sbdo pendito ratu tan kena wola wali", semoga dapat bermanfaat bagi rekan pembaca, terima kasih.

Sabtu, 12 November 2016

Sebuah Nasehat tentang Untung Rugi

"mburu uceng kelangan deleg"





Sebelum kita melangkah kedalam makna dan tujuan dari ungkapan Jawa tersebut di atas maka sebaiknya kita lihat satu per satu arti dari kata-kata yang terkandung di dalamnya. Artinya adalah sebagai berikut:
Mburu, dapat diartikan sebagai mengejar, mencari
Uceng, adalah ikan kecil tidak bersisik yang besarnya hanya kurang lebih sebesar jari kelingking orang dewasa dan bentuknya hampir mirip ikan gabus. Ikan ini biasanya hidup di sungai yang tidak terlalu dalam dengan air yang mengalir.
Kelangan, dapat diartikan sebagai kehilangan
Deleg, adalah nama sebutan dari ikan gabus dalam ukuran yang besar
Kalau kita artikan secara harafiah dalam satu kalimat maka artinya adalah "mengejar ikan uceng kehilangan ikan gabus besar". Adapun sebagai ungkapan dapat diartikan mengejar sesuatu yang kecil tetapi kehilangan sesuatu yang besar.

Di dalam ungkapan Jawa tersebut terdapat dua buah makna yang terkandung di dalamnya. Makna yang pertama adalah pada saat kita mealakukan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan nilai tambah yang kecil tetapi pada akhirnya kita harus kehilangan sesuatu yang besar yang sudah kita miliki
. Dalam makna yang pertama ini biasanya ditujukan untuk hal-hal yang berhubungan dengan harta. Sebagai contohnya, mungkin ada rekan pembaca yang masih ingat pada saat terjadinya booming tanaman anthurium, betapa orang sangat tergiur untuk ikut dalam bisnis tanaman tersebut untuk mendapatkan keuntungan jual beli tanaman dengan harga yang tidak masuk akal tersebut. Saya pernah mendengar cerita, ada seseorang yang pada awalnya sekedar iseng untuk ikut jual beli dalam skala kecil-kecilan dan ternyata memang mendapat untung. Kemudian orang tersebut memutuskan untuk menjual beberapa ekor sapinya untuk membeli tanaman tersebut dengan harapan akan mendapatkan penghasilan tambahan yang lebih besar lagi dari selisih jual beli tanaman anthurium tersebut. Akan tetapi yang namanya tren atau booming biasanya hanya bersifat sementara dan akhirnya hilang atau berganti dengan tren yang lainnya, sehingga si orang yang menjual sapinya tadi untuk dibelikan tanaman anthurium akhirnya malah menderita kerugian yang besar akibat harapannya mendapatkan tambahan penghasilan.

Makna yang kedua adalah memprioritaskan sesuatu yang kecil tetapi kehilangan sebuah kesempatan yang besar. Pernahkah di dalam kehidupan yang sudah kita lewati mengalami kehilangan kesempatan yang besar dikarenakan sesuatu hal yang kecil? Mungkin ada yang pernah mengalami dan ada juga yang belum pernah mengalaminya. Sebenarnya banyak contoh mengenai hal ini di dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh sederhana misalnya; pada suatu malam ada sebuah acara/film di televesi yang sangat kita sukai sehingga kita menontonnya sampai larut malam, sedangkan kita tahu bahwa keesokan harinya kita mempunyai sebuah janji bisnis atau meeting dengan orang lain yang cukup penting sehingga kitatidak boleh terlambat datang. Setelah selesai menonton acara televisi sampa[ tersebut barulah kita beranjak ke tempat tidur untuk beristirahat. Pada pagi harinya, karena kita kurang tidur dan biasanya kurang tidur mengakibatkan daya konsentrasi dan ingatan turun drastis dan penampilan pun kurang segar sehingga pada saat bertemu untuk meeting dan membahas hal-hal yang penting, kita tidak dapat memberikan sesuatu yang seharusnya mampu kita berikan apabila kondisi kita dalam keadaan normal/fresh. Pada kondisi tersebut pastilah kita kehilangan banyak hal yang dapat berdampak buruk terhadap diri kita, misalnya saja kita dianggap tidak mampu, kurang persiapan, tidak menguasai materi yang dibahas, tidak bersemangat dan lain sebagainya yang bahkan dapat menggagalkan tujuan kita dalam pertemuan tersebut. Akibat yang kita terima tersebut semata-mata karena kita kurang tidur dan lebih memprioritaskan hal kecil (menonton acara televisi) dibanding dengan persiapan untuk meeting keesokan harinya.

Contoh pada paragraf di atas mungkin sering terjadi dalam kehidupan, baik hal tersebut kita sadari ataupun tanpa kita sadari. Maksud dari ungkapan Jawa tersebut diatas bertujuan untuk selalu mengingatkan masyarakat agar selalu memprioritaskan hal-hal yang lebih besar daripada memprioritaskan hal-hal kecil walaupun untuk melakukannya harus mengalahkan kesenangan kita sendiri. Demikian yang dapat saya sampaikan mengenai ungkapan Jawa mburu uceng kelangan deleg, terima kasih.

Senin, 07 November 2016

Situs Sejarah Ambarketawang dan Ritual Budaya Bekakak

Situs sejarah Ambarketawang ini terletak di Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Propinsi DIY, dan kebetulan lokasi tersebut tidak terlalu jauh dari tempat tinggal orang tua saya, kurang lebih 5 km ke arah kota Yogyakarta. Alasan saya menuliskan tentang situs Ambarketawang dan ritual budaya Bekakak dalam blog saya yang berjudul Segala Hal Tentang Kehidupan Jawa adalah karena pada saat saya masih kecil pernah beberapa kali diajak untuk melihat sebuah ritual budaya yang berlangsung di daerah tersebut dan ritual budaya tersebut hanya dilakukan satu kali dalam setahun.

Nama ritual budaya yang saya maksudkan di atas adalah ritual Bekakak yang dilakukan pada setiap bulan Sapar (nama salah satu bulan di dalam kalender masyarakat Jawa) sehingga sering juga dinamakan dengan ritual budaya Saparan. Didalam prosesi ritual ini dilakukan arak-arakan yang cukup panjang sehingga sangat menarik perhatian orang-orang yang melintas di wilayah tersebut karena arak-arakan ini dilakukan melewati jalan utama Jakarta - Yogyakarta (jalur selatan) yang melintas di wilayah tersebut. Arak-arakan Bekakak ini terlihat cukup unik karena pesertanya mengenakan pakaian khas Jawa dan yang diarak adalah sepasang boneka pengantin yang terbuat dari tepung beras ketan dan di dalamnya berisikan cairan gula merah yang seolah adalah darah dari boneka tersebut. Tujuan akhir dari prosesi arak-arakan tersebut adalah sebuah tempat yang dahulunya adalah sebuah bukit kapur (dalam bahasa Jawa, kapur = gamping).Setelah sampai di lokasi bekas bukit kapur tersebut, maka pemimpin upacara akan mengorbankan sepasang boneka pengantin tersebut dengan cara menyembelihnya.

Tujuan dari ritual budaya Bekakak tersebut adalah untuk meminta keselamatan untuk seluruh warga masyarakat di daerah tersebut terutama bagi mereka yang melakukan penambangan batu kapur, dimana pada proses penambangan batu kapur tersebut sering terjadi longsor dan menimbulkan korban jiwa. Ritual budaya ini bermula pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I di Kerajaan Mataram Yogyakarta yang pada waktu itu sempat tinggal di wilayah Ambarketawang yaitu di Pesanggrahan Ambarketawang. Sultan Hamengku Buwana I tinggal di Ambarketawang adalah dalam rangka menunggu selesainya pembangunan Istana Kerajaan Mataram waktu itu. Mengapa Sultan Hamengku Buwana I sampai membuat ritual budaya tersebut? Menurut cerita yang saya dengar, dikarenakan salah satu abdi dalem yang cukup dekat dengan beliau ikut menjadi korban longsoran dari gunung kapur tersebut sehingga Sultan Hamengku Buwana I menjadi sangat prihatin akan hal tersebut dan mencari cara untuk menghindarkan warga masyarakat yang bekerja sebagai penambang batu kapur agar tidak menjadi korban lagi. Maka diciptakanlah ritual budaya Bekakak sebagai perwujudan permohonan kepada Tuhan untuk keselamatan para penambang batu kapur dan masyarakat di sekitar lokasi gunung kapur tersebut.

Pesanggrahan Ambarketawang pada saat ini hanya menyisakan bekas-bekas bangunan yang sudah tidak utuh lagi sehingga sudah tidak terlihat lagi bahwa pada jaman dahulu tempat tersebut sempat menjadi tempat tinggal seorang Raja Kerajaan Mataram dan sebagai pusat pemerintahan untuk sementara waktu. Demikian yang saya ketahui dari situs sejarah Ambarketawang dan ritual budaya bekakak yang masih ada sampai saat ini.

Sabtu, 05 November 2016

Seseorang dinilai dari perkataan dan penampilanya - Ajining Diri Ono Ing Lathi, Ajining Raga Ono Ing Busana

"ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana"


Pada saat seseorang bergaul di masyarakat, pastilah ada suatu penilaian berdasarkan suatu kriteria dan budaya yang berlaku di dalam masyarakat tersebut. Demikian juga di dalam masyarakat Jawa ada suatu ungkapan seperti yang tertulis di atas sebagai salah satu kriteria dalam menilai seseorang.


Sebelum melangkah mengenai prinsip hidup yang terkandung di dalam kalimat ungkapan Bahasa Jawa tersebut, marilah kita terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia secara kata per katanya agar lebih mudah untuk dipahami sebagai berikut:
  • Ajining diri: dapat diterjemahkan sebagai harga diri atau kehormatan
  • Dumunung ana ini : dapat diterjemahkan sebagai terletak pada
  • Lathi: adalah lidah, dalam hal ini adalah perkataan
  • Ajining raga: dapat diterjemahkan sebagai  nilai penampilan/fisik
  • Busana: adalah pakaian atau busana
Ada pun untuk arti secara keseluruhannya adalah: harga diri/kehormatan seseorang terletak pada lidah/perkataan, nilai dari penampilan fisik terletak pada pakaian yang dikenakan. Dua buah hal yang terkandung dalam ungkapan Bahasa Jawa tersebut yaitu perkataan dan cara berpakaian adalah merupakan tolok ukur di dalam masyarakat Jawa untuk menilai orang lain sehubungan dengan seberapa pantas orang tersebut untuk dihargai. 

Di dalam hal perkataan yang dimaksudkan terdapat dua buah makna, yang pertama adalah bagaimana seseorang bertutur kata dengan orang lain, Misalnya saja kelembutan nada bicaranya, ekspresi pada saat berbicara dan mendengarkan orang lain yang sedang berbicara dan pemakaian tingkatan bahasanya apabila berbicara dengan orang yang lebih tua atau orang yang lebih dihormati, Tolok ukur ini biasanya digunakan pada saat terjadi komunikasi awal atau pada saat orang baru saja berkenalan. Baca juga: penghormatan dengan bahasa yang digunakan


Untuk makna yang kedua adalah tentang kebenaran dari perkataan yang diucapkan. Hal ini akan menjadi tolok ukur untuk orang yang sudah bergaul atau pun sudah dikenal dengan cukup lama sehingga orang lain akan tahu apakah perkataannya dapat dipercaya, apakah dalam berbicara selalu apa adanya atau dibuat-buat, apakah perkataannya sesuai dengan perbuatannya dan lain sebagainya.

Selanjutnya adalah hal berpakaian, masyarakat Jawa akan menilai seseorang dengan cara melihat bagaimana orang itu mengenakan pakaiannya, Dalam hal ini bukan melihat mahal atau murahnya pakaian yang dikenakan atau pun bagus atau tidaknya pakainan tersebut, tetapi lebih cenderung kearah kerapihan, kesopanan dan keserasian dalam mengenakan pakaian. Sebagai contoh: seorang anak sekolah laki-laki akan dinilai baik apabila mengenakan baju dimasukkan, kancing baju dikancingkan secara semestinya (tidak dibuka satu yang atas), lengan baju tidak dilipat dan sebagainya.

Menurut pemahaman saya, secara kurang lebih makna dan prinsip yang terkandung dalam kalimat ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana adalah seperti di atas. Dan sebagai tambahan informasi, bahwa sampai dengan saat ini prinsip tersebut masih berlaku di masyarakat Jawa sebagai patokan dari masing-masing pribadi anggota masyarakat dan juga cara pandang masyarakat terhadap pribadi di dalamnya.





Jumat, 04 November 2016

Begitu Kuatnya Pengaruh Cinta Kasih

"suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti"


Sebelum kita masuk lebih jauh tentang arti dan makna ungkapan Bahasa Jawa di atas, maka sebaiknya kita kaji satu per satu dari kata inti yang ada di dalam kalimat ungkapan tersebut.

  • Suro
Apabila diartikan sebagai kata benda adalah sebutan ikan hiu dalam Bahasa Jawa, hal ini bisa kita lihat dari lambang kota Surabaya yang berupa ikan hiu dan buaya (sura adalah ikan hiu dan baya adalah buaya). Akan tetapi kata suro sebagai kata sifat juga dapat diartikan sebagai keberanian, kebuasan ataupun kesombongan
  • Diro
Kata tersebut menunjukkan tentang kekuatan fisik atau pun  kekuatan batin yang ada dalam diri seseorang.
  • Jayaningrat
Sebenarnya kata jayaningrat terdiri dari dua buah kata yang disatukan karena arti kata yang saling mendukung. Jaya dapat diartikan sebagai kejayaan, kemenangan ataupun kekuasaan, sedangkan ningrat adalah identik dengan derajat yang tinggi atau kaum yang berkuasa dan terpandang sehingga memiliki harta yang berlimpah, misalnya saja keluarga kerajaan.
  • Pangastuti
Kata ini dapat diartikan cukup luas karena di dalamnya mencakup cinta kasih, kelembutan, kebijaksanaan dan hal yang lainnya yang berakar pada cinta kasih.
Secara keseluruhan ungkapan kalimat tersebut dapat diartikan bahwa segala angkara murka yang berasal dari adanya keberanian/kesombongan karena mengandalkan kekuatan, kuasa dan harta akan musnah oleh kelembutan cinta kasih. Di dalam kehidupan sehari-hari ungkapan ini sangat jarang digunakan, akan tetapi sering dipakai pada sebuah percakapan dalam kesenian tradisional yang ada di jawa yaitu kethoprak dan wayang orang/kulit, terutama apabila cerita tersebut berkisah tentang perang antara kebenaran melawan keangkara murkaan.


Makna dan tujuan yang saya pahami dari kalimat ungkapan tersebut ada dua, yaitu untuk diri sendiri dan untuk kehidupan bermasyarakat. Untuk diri sendiri dimaksudkan supaya setiap orang sadar bahwa di dalam dirinya ada potensi untuk sebuah kesombongan dan ketidakbenaran sehubungan dengan adanya kekuatan fisik atau pun mental, kekuasaan ataupun jabatan dan kekayaan yang dimiliki. Untuk mencegah munculnya sifat-sifat yang tidak baik tersebut, setiap orang harus memiliki cinta kasih di dalam dirinya yang akan mengalahkan sifat yang tidak baik tersebut. Sedangkan untuk kehidupan bermasyarakat, ungkapan tersebut merupakan sebuah himbauan atau peringatan agar dalam kehidupan bermasyarakat setiap warganya menggunakan hati nuraninya agar tidak merendahkan orang yang lain walaupun sesorang tersebut memiliki kelebihan dalam hal fisik (kuat, cantik, ganteng, dll), jabatan/kekuasaan dan harta.

Kamis, 03 November 2016

Perasaan cinta berawal karena terbiasa

"witing tresna jalaran saka kulina"
(perasaan cinta berawal karena terbiasa)


Perasaan cinta yang dimaksud pada ungkapan Bahasa Jawa di atas sebenarnya adalah perasaan cinta/suka/sayang dalam arti yang menyeluruh dalam segala hal, bukan sekedar perasaan cinta antara pria dan wanita saja. Memang secara umum dalam memaknai ungkapan tersebut cenderung kepada rasa cinta dalam hubungan antar manusia, akan tetapi hal ini juga juga berlaku terhadap sesuatu yang lain, misalnya saja mencintai suatu pekerjaan, mencintai suatu kegiatan dan lain sebagainya.



Makna dari ungkapan witing tresna jalaran saka kulina ini sangatlah mengakar pada masyarakat Jawa pada kurun waktu yang lalu karena hal ini diajarkan secara turun temurun dan telah menjadi sebuah budaya serta diakui kebenarannya. Sebuah contoh penerapan prinsip tersebut di dalam masyrakat Jawa di masa yang lalu adalah tentang perjodohan. Dengan adanya prinsip tersebut maka didalam menentukan calon suami atau calon isteri tidaklah seperti jaman sekarang dimana orang dapat memilih seseorang yang disukai/dicintai kemudian berpacaran dan seandainya sama-sama sepakat akan dilanjutkan ke dalam sebuah perkawinan. Mungkin boleh dikatakan bahwa pada masa dahulu tidak ada yang namanya "pacaran", tetapi yang ada adalah sebuah perjodohan. Perjodohan yang saya maksudkan adalah orang tua akan mencarikan calon suami atau calon isteri untuk anaknya yang sudah menginjak dewasa dan siap menikah. Biasanya orang tua akan mencari calon untuk anaknya tersebut dari kenalan dan teman-temannya, dengan suatu kriteria yang ada dalam masyarakat Jawa yaitu: bobot, bibit, bebet (suatu saat mungkin akan saya bahas tersendiri).


Dalam hal proses membentuk sebuah rumah tangga atau perkawinan terdapat suatu perbedaan prinsip yang cukup mendasar antara jaman dahulu dengan saat ini. Pada jaman dulu orang melakukan pernikahan terlebih dahulu baru kemudian secara perlahan akan saling mencintai satu dengan yang lain, sedangkan saat ini orang memilih berdasarkan yang diciantai/disukai kemudian baru melangsungkan perkawinan. Dari adanya perbedaan tersebut mungkin akan timbul suatu pertanyaan, "lebih baik yang manakah antara kedua buah prinsip tersebut?" Menurut pendapat saya pribadi, kedua prinsip tersebut sama-sama baik pada masanya. Mengapa demikian? Cobalah kita lihat pada keluarga yang dibentuk dengan perjodohan (mungkin keluarga kakek/nenek) ataupun dari cerita, banyak dari mereka hidup dengan harmonis dan sampai ajal memisahkan, tidak jauh berbeda dengan kondisi dari keluarga yang terbentuk atas dasar cinta terlebih dahulu seperti saat ini.

Selain dalam hal hubungan antar manusia seperti yang sudah dijelaskan dalam paragraf di atas, sebenarnya masih ada hal lain yang ingin disampaikan oleh ungkapan witing tresna jalaran saka kulina tersebut. Ada dua hal yang ingin disampaikan:
  • Untuk hal yang baik dan membangun
Untuk segala sesuatu yang bertujuan baik, benar, berguna, mendidik, positif dan yang sejenisnya, kita harus membiasakan diri untuk selalu melakukannya dengan harapan setelah kita terbiasa melakukan hal-hal yang positif tersebut maka kita akan mencintainya. Pada saat kita sudah mencintai (dalam hal yang baik dan benar), maka kita pastilah akan berusaha untuk mempertahankan apa yang kita cintai tersebut sehingga kita akan otomatis terjaga dari hal-hal yang tidak baik.
  • Untuk hal yang tidak baik
Ini adalah kebalikan dari point yang pertama, dalam hal-hal yang tidak baik kita diingatkan untuk tidak melakukannya agar jangan sampai kita terbiasa dengan hal yang tidak baik tersebut atau bahkan sampai mencintainya, karena akan lebih sulit untuk meninggalkan hal buruk dan kembali kepada yang baik.

Rabu, 02 November 2016

Seorang anak, sepenuhnya adalah tanggung jawab orang tua


"Anak polah bapa kepradhah"


Mempunyai anak adalah salah satu tujuan dari pasangan yang melanjutkan hubungannya ke jenjang perkawinan dan berumah tangga. Pada saat pasangan suami istri mendapatkan karunia seorang anak pastilah ada suatu kegembiraan dan kebahagiaan yang luar biasa karena salah satu tujuan perkawinan sudah tercapai yaitu mendapatkan keturunan yang akan meneruskan sejarah dari kehidupannya.


Setelah kebahagiaan yang dirasakan pada saat kelahiran sang buah hati, maka untuk selanjutnya adalah sebuah tanggung jawab untuk merawat, membesarkan, mendidik dan memenuhi kebutuhan sang buah hati sampai dengan tingkat kemandirian dan kedewasaan tertentu. Memang sebagai orang tua, kita pastilah dengan senang hati akan memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita walaupun harus dengan bersusah payah dan mengorbankan kepentingan serta kesenangan pribadi.

Walaupun kita sebagai orang tua sudah berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik yang mampu kita berikan kepada anak kita, terkadang harapan kita terhadap buah hati kita tidaklah selalu menjadi kenyataan. Dalam menempuh kehidupan dari saat terlahir di dunia ini sampai dengan seseorang dapat mandiri dan dewasa untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri membutuhkan rentang waktu yang panjang dan terkadang harus melewati masa-masa yang tidak mudah bagi seorang anak.


Secara hukum yang berlaku di negara kita, seseorang akan dianggap dewasa pada saat usianya genap 17 tahun dan ditandai dengan hak untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Masyarakat Jawa menganggap seorang anak sudah dewasa dan mandiri apabila anak tersebut sudah dapat menghidupi dirinya sendiri dan menikah. Namun pada kenyataannya rasa tanggung jawab orang tua terhadap anaknya adalah seumur hidupnya, mengapa demikian? Karena hubungan antara anak dan orang tua tidaklah dapat terpisah, tidak ada sebuah istilah "mantan anak" dalam hubungan ini. Dalam masyarakat kita terutama masyarakat Jawa, orang tua selalu dihubungkan dengan apapun perbuatan anaknya entah itu dalam hal baik ataupun dalam hal buruk. Sebagai contoh: pada saat ada seseorang melakukan sesuatu yang baik atau buruk dan cukup mencolok, masyarakat Jawa akan mempertanyakan siapakah orang tuanya? atau ini anaknya siapa?

Dengan kondisi seperti yang dijelaskan pada paragraf di atas, maka ungkapan "anak polah bapa kepradhah" dimaksudkan untuk selalu mengingatkan kepada seluruh orang tua agar merawat, membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan benar dan sebaik mungkin agar tidak merepotkan atau membuat malu orang tua.



Selasa, 01 November 2016

Menerima Apa Adanya dan Bersyukur

"Nrimo ing pandhum"




Pada dasarnya manusia mempunyai keinginan yang tiada habisnya, seandainya memungkinkan seluruh duniapun ingin dimiliki. Sifat tersebut tidaklah salah, karena memang sifat tersebut merupakan salah satu dari kodrat manusia. Menurut pemikiran saya, segala sesuatu di dunia ini selalu mempunyai dua sisi yang berlawanan dan tergantung dari manusia menggunakannya dari sisi baiknya ataupun sebaliknya. Keinginan yang tiada habisnya adalah baik apabila tujuan dari keinginan itu adalah baik serta didalam mewujudkan keinginan tersebut dengan cara yang baik pula. Baik dalam pernyataan di atas adalah baik secara umum ataupun menurut aturan yang berlaku dalam suatu komunitas (masyarakat, negara atau dunia internasional), bukan baik menurut pendapat pribadi. Dengan adanya keinginan, kehidupan ini akan menjadi lebih baik dan bertambah baik tetapi dengan adanya keinginan pula kehidupan ini dapat menjadi lebih buruk dan bertambah buruk.


Dalam hal mewujudkan keinginan, terkadang manusia menjadi serakah dan dapat menghalalkan segala cara untuk dapat mencapai keinginannya tersebut. Keinginan inilah sebenarnya yang memicu manusia bisa menjadi baik ataupun jahat, oleh sebab itu manusia harus sadar akan hal ini dan dididik untuk mengendalikan keinginan-keinginan yang ada dalam dirinya. Didikan ini bisa didapatkan dari pendidikan sekolah, pendidikan budi pekerti, budaya dan agama.

Kembali kepada tema awal tulisan ini yaitu ungkapan dalam Bahasa Jawa yang mengatakan "nrimo ing pandhum" atau kalau mau secara lengkapnya kurang lebih adalah "manungso kuwi mung sakdermo nglakoni, dadi kudhu nrimo ing pandhum". Secara arti kata dalam Bahasa Indonesia ungkapan kalimat Jawa tersebut dapat diartikan menjadi "manusia itu hanyalah sebagai pelaku, sehingga harus menerima apapun yang diberikan (oleh Tuhan)".


Makna dari kalimat ungkapan ini mengajarkan kepada manusia dan khususnya masyarakat Jawa untuk selalu sadar bahwa di dunia ini kita hanyalah seorang pelaku kehidupan yang kurang lebih sudah digariskan oleh Tuhan sehingga apapun yang ada pada kita dan diberikan kepada kita harus senantiasa kita terima dan syukuri. Diharapkan dengan adanya pembelajaran tersebut kita dapat menerima apa adanya diri kita dan juga mensyukuri apapun yang kita dapatkan dalam kehidupan ini tanpa harus serakah, sehingga ketenteraman, kedamaian dan kebahagian bisa kita rasakan di dalam hidup kita. Memiliki banyak harta, menjadi orang terkenal, mempunyai jabatan tinggi dan kekuasaan belum menjamin orang dapat menjadi bahagia tetapi dapat menerima diri dan kehidupan dengan apa adanya serta mensyukurinyalah yang akan membuat orang menjadi bahagia.


Mungkin dari paragraf di atas akan timbul sebuah pertanyaan, "apakah kita tidak boleh mempunyai keinginan ataupun mengejar keinginan kita?" Tentu saja boleh, karena memang kita harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan atau pun keinginan di dalam kehidupan kita. Yang pasti jangan sampai untuk memenuhi atau mendapatkan keinginan kita tersebut melalui cara yang tidak baik ataupun merugikan orang lain, selanjutnya jangan sampai kita menginginkan sesuatu yang kita sendiri sudah tahu bahwa kita tidak akan bisa mendapatkannya karena hal ini akan membuat kita hidup dalam khayalan serta frustasi dan kecewa.




Senin, 31 Oktober 2016

Kesuksesan itu butuh pengorbanan


"Jer Basuki Mawa Bea"


Setiap orang pastilah menginginkan keberhasilan dan kesuksesan dalam hidupnya, entah itu dalam hal rumah tangga, penghasilan, karir, bisnis dan lain sebagainya. Untuk mencapai kesuksesan, kita juga pasti tahu bahwa hal itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi dibutuhkan kerja keras, konsistensi, pembelajaran dan lain sebagainya.

Ungkapan dari Bahasa Jawa  jer basuki mawa bea dapat diartikan untuk meraih kesuksesan pastilah dibutuhkan pengorbanan. Pengorbanan untuk mencapai suatu kesuksesan ini banyak hal yang tercakup di dalamnya, misalnya saja di dalam meraih keberhasilan dalam bidang pendidikan atau sekolah pastilah dibutuhkan waktu untuk rutin dan konsisten dalam belajar. Konsisten dan selalu meluangkan waktu dalam belajar adalah sebuah pengorbanan, kenapa bisa disebut sebagai pengorbanan? Karena belajar adalah sesuatu yang kurang menyenangkan dibandingkan apabila kita meluangkan waktu untuk kesenangan kita misalnya bermain dengan teman, jalan-jalan dan lain sebagainya. Apabila kita mengesampingkan sesuatu yang menyenangkan untuk melakukan sesuatu yang tidak kita sukai itulah sebuah pengorbanan.

Arti kata pengorbanan dalam hal ini adalah memberikan atau merelakan sesuatu yang berharga (barang ataupun jasa) atau menyenangkan secara sadar dan iklas tanpa mengharapkan imbalan ataupun atas dasar perjanjian dari pihak-pihak lain tersebut atau dapat juga disebut sebagai pemberian sukarela/tanpa paksaan. Pengorbanan biasanya dilakukan atas dasar suatu kepercayaan kepada Tuhan atau berdasarkan kasih kepada orang lain atau dapat juga karena tanggung jawab.

Apakah sebenarnya yang ingin diajarkan dan disampaikan dalam ungkapan Bahasa Jawa di atas? Yang ingin disampaikan adalah dalam hidup di dunia ini tidak ada sesuatu hal yang menyenangkan, membahagiakan, membanggakan dan lain sebagainya yang bisa diperoleh dengan berpangku tangan saja. Hal ini diungkapkan untuk mendidik masyarakat untuk tidak bermalas-malasan serta setiap orang harus selalu berusaha keras dan bahkan melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan untuk mencapai hal-hal yang diinginkannya ataupun kesuksesan hidup, baik itu kehidupan pribadi ataupun kehidupan di dalam suatu kelompok/masyarakat.

Ungkapan ini biasanya dituturkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai sebuah pengajaran secara tidak langsung oleh orang tua kepada anaknya secara turun temurun dan diharapkan bahwa nilai-nilainya dapat diaplikasikan dalam setiap sendi kehidupan setiap pribadi dari masyarakat yang ada.

Minggu, 30 Oktober 2016

Seiring Berjalannya Waktu, Segala Hal akan Terungkap

"Becik kethitik olo kethoro"


Ungkapan falsafah Jawa tersebut di atas sebenarnya sangatlah sederhana apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, secara kurang lebih adalah kebaikan akan terlihat kecil, keburukan akan kelihatan sangat jelas. Walaupun ungkapan tersebut terlihat sederhana, akan tetapi menurut saya makna yang terkandung di dalamnya sangatlah dalam dan merupakan sebuah kenyataan di dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini.

Menurut pendapat saya ada dua buah makna di dalam sebuah ungkapan di atas, adapun maknanya adalah sebagai berikut:
  1. Segala perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang tidaklah mungkin ditutup-tutupi untuk selamanya. Terlepas perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk pasti akan terlihat juga.
  2. Biasanya perbuatan baik seseorang akan terlihat kecil/biasa dibandingkan apabila seseorang tersebut melakukan perbuatan buruk yang langsung akan kelihatan/tersebar kemana-mana.
Di dalam masyarakat Jawa, kedua hal tersebut diajarkan untuk mengerti dan memahami sifat-sifat yang ada di dalam diri manusia dan masyarakat pada umumnya.


Untuk makna yang pertama dimaksudkan agar setiap orang selalu berbuat baik. Kebaikan ataupun keburukan akan sama-sama terlihat walaupun pada saat melakukannya tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Terlebih lagi sebuah keburukan tidak akan dapat disembunyikan dalam waktu yang lama karena ibarat menyimpan sebuah bangkai maka bau busuknya pasti akan tercium juga.

Ungkapan ini sebenarnya juga sebagai bentuk keputus asaan seseorang yang merasa bahwa dirinya benar akan tetapi dipersalahkan. Sebagai bentuk keputus asaan tersebut maka seseorang hanya berharap bahwa waktu dan kuasa Tuhan yang akan menunjukkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Atau pun pada saat terjadi suatu perselisihan di dalam masyarakat yang cukup rumit sehingga tidak dapat diselesaikan dengan cepat karena kurang jelasnya fakta yang ada. Dalam kasus seperti ini masyarakat akan membiarkan atau menunda penyelesaiannya sambil mengamati masing-masing pihak agar mendapatkan fakta pendukung yang baru. Masyarakat Jawa sangat percaya bahwa dengan seiring berjalannya waktu dan kehidupan ini akan terlihatlah siapa yang benar dan siapa yang bersalah.


Sedangkan untuk makna yang kedua dimaksudkan agar setiap orang tahu dan memahami konsekuensi  dari setiap perbuatan yang dilakukannya. Dengan tahu dan paham akan konsekuensinya, sehingga setiap anggota masyarakat selalu berhati-hati dalam bertindak dan mengambil keputusan. Salah satu konsekuensi dari sebuah perbuatan adalah akan tersebarnya berita tentang kebaikan atau keburukan seseorang yang dihasilkan dari perbuatannya tersebut. Perbuatan baik seseorang biasanya dianggap sebagai hal yang biasa atau pun hal kecil (seperti titik yang kecil dalam Bahasa Jawa "kethitik") bahkan mungkin tidak akan terlihat. Sebaliknya pada saat seseorang tersebut melakukan suatu kesalahan atau keburukan maka semua orang akan segera tahu dan menyorotinya. Sebagai contoh untuk masa sekarang, misalnya saja tentang seorang figur publik yang melakukan sebuah keburukan, dengan begitu cepatnya keburukan itu akan tersebar dan sangat mencolok (dalam Bahasa Jawa "kethoro") dan bahkan menjadi sebuah trending topik di mayarakat.

Dengan adanya kalimat ungkapan tersebut diharapkan akan selalu mengingatkan setiap orang untuk cenderung berbuat baik daripada berbuat yang tidak baik. Sampai dengan saat inipun ungkapan "becik kethitik olo kethoro" ini masih diajarkan dalam masyarakat Jawa. Mereka juga masih meyakini bahwa segala perbuatan akan terungkap kebenarannya seiring dengan berjalannya sang waktu. Demikian pemahaman yang dapat saya sampaikan mengenai ungkapan "becik kethitik olo kethoro", semoga dapat bermanfaat bagi rekan-rekan pembaca, terima kasih.




Sabtu, 29 Oktober 2016

3 Hal Mulia yang Harus Dilakukan Guru dalam Masyarakat


"Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani"


Kalimat ungkapan bahasa Jawa di atas di ciptakan oleh seorang pelopor dalam bidang pendidikan yang juga sekaligus sebagai salah seorang Pahlawan Indonesia, beliau adalah Ki Hajar Dewantara. Beliau ini adalah seorang pejuang dalam bidang pendidikan pada masa penjajahan Belanda, dimana beliau sangat peduli terhadap hak rakyat jelata untuk mendapatkan pendidikan seperti halnya para priyayi dan orang Belanda pada waktu itu. Ki Hajar Dewantara juga mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang diberi nama Perguruan Taman Siswa sebagai bentuk kepeduliaannya akan pendidikan untuk rakyat pribumi. Lembaga pendidikan yang didirikan tersebut sampai dengan saat ini masih ada di wilayah Yogyakarta dan masih tetap memakai nama Perguruan Taman Siswa.


Apakah yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara dengan ungkapan Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat latar belakang ungkapan tersebut. Pada awalnya slogan atau ungkapan ini hanya ditujukan buat para pengajar atau guru atau pendidik pada saat itu. Dimana seorang pengajar/guru itu harus menjadi teladan atau contoh dari murid-muridnya di dalam setiap aspek kehidupan yang ada. Dikarenakan kondisi pada waktu itu tidak banyak orang yang mendapatkan pendidikan dan atas dasar pemikiran bahwa kemajuan masyarakat hanya dapat dicapai dengan adanya pendidikan untuk semua orang maka Ki Hajar Dewantara menugaskan guru-guru yang ada tidak hanya sekedar mengajar di sekolah. Akan tetapi seorang guru harus menjadi penggerak secara nyata di dalam masyarakat. Dan diciptakanlah kalimat semboyan atau slogan yang berisikan 3 tugas seorang guru di tengah masyarakat. Adapun untuk masing-masing tugas tersebut adalah sebagai berikut:

  • Ing ngarso sung tuladha
Kalimat di atas apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah: pada saat posisi kita di depan (memimpin) kita harus menjadi contoh atau memberikan teladan. Makna atau ajaran yang ingin disampaikan adalah:
seorang guru itu adalah seorang pemimpin yang harus menjadi telandan bagi murid-muridnya atau orang yang diajarnya. Mengapa guru disebut sebagai seorang pemimpin? Karena pada waktu itu tidak banyak orang yang berpendidikan sehingga seorang guru yang yang pastinya lebih terpelajar dan berpendidikan haruslah memberikan bimbingan dan memimpin masyarakat terutama dalam hal meraih pendidikan. Pada masa sekarang dimana pendidikan sudah merata maka ungkapan di atas juga dapat dimaknai untuk seluruh anggota masyarakat yang ada. Pada saat seorang anggota masyarakat itu mempunyai sesuatu yang lebih dalam bidang tertentu daripada orang-orang yang berada di sekitarnya, maka ia harus memberikan teladan atau contoh kepada orang yang lainnya.

  • Ing madya mangun karso
Dalam Bahasa Indonesia kalimat di atas dapat diterjemahkan sebagai pada saat posisi kita di tengah maka kita harus membangun kemauan orang di sekitar kita untuk maju. Ajaran yang ingin disampaikan adalah:
Para guru ditugaskan untuk dapat membangun kemauan masyarakat disekitarnya untuk belajar dan mendapatkan pendidikan. Adapun untuk masa sekarang tugas ini tidak hanya untuk seorang guru semata tetapi juga ditujukan untuk semua orang. Diharapkan setiap orang selalu berusaha membina kemauan dan saling membangun di setiap aspek kehidupan yang ada di masyarakat sehingga akan menjadikan masyarakat lebih baik dalam segala hal.

  • Tut wuri handayani
Dapat diartikan, apabila posisi kita di belakang maka kita harus menjadi daya pendorong atau menjadi penyemangat. Adapun maksud yang ingin disampaikan adalah: Seorang guru harus dapat menjadi penyemangat dan pendorong dari masyarakat dimana dia berada. Untuk saat ini, semua orang harus saling menyemangati dan mendorong agar tercipta suatu kehidupan yang lebih baik di dalam masyarakat.

Akhir kata, pemahaman saya untuk ungkapan "Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani" hanyalah seperti yang sudah saya tuliskan di atas, Mohon maaf apabila ada pemahaman saya yang kurang dalam konteks ini, Saya berharap bahwa tulisan ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan yang sempat membaca, terima kasih.

Kamis, 27 Oktober 2016

4 Sifat Seorang Ksatria Berdasarkan Pepatah Jawa

"Nglurug tanpa bala, sekti tanpa aji, menang tanpa ngasorake, sugih tanpa bandha"


Dalam tulisan ungkapan di atas, menurut pendapat saya adalah gambaran dari jiwa seorang ksatria, sehingga untuk tulisan yang akan saya bagikan ini diberikan judul "4 Sifat Seorang Ksatria Berdasarkan Pepatah Jawa".

Kalimat ungkapan di atas merupakan empat buah ungkapan yang mempunyai arti yang hampir sama tetapi dalam konteks yang berbeda. Apabila kita cermati dari masing-masing frase dalam kalimat tersebut, maka akan kita lihat bahwa makna dari kata-kata yang ada saling bertolak belakang satu dengan yang lainnya. Marilah kita bahas satu per satu frase dalam kalimat ungkapan di atas.

Nglurug tanpa bala
Dalam frase "nglurug tanpa bala", arti kata glurug adalah datang dengan membawa rombongan orang banyak atau membawa pasukan dengan tujuan untuk berperang. Sedangkan kata tanpa bala berarti tidak membawa pasukan ataupun teman. Jadi frase di atas dapat kita artikan bahwa seseorang yang menghadapi segala sesuatu sendirian tanpa bantuan orang lain. Prinsip hidup yang ingin disampaikan dan diajarkan dalam ungkapan ini adalah tentang keberanian di dalam kehidupan ini untuk bertanggung jawab dan mandiri dalam menjalani dan menghadapi segala permasalahan yang ada tanpa harus mengharapkan atau bahkan mengandalkan orang lain (orang tua, saudara, teman dan yang lainnya).

Sekti tanpa aji
Sekti atau sakti yang dimaksud adalah sebuah kemampuan yang melebihi dari kemampuan orang-orang biasa, dan dalam hal ini kemampuan yang berhubungan dengan kanuragan, bela diri, ataupun kemampuan mistis/supranatural. Tanpa aji yang dimaksud adalah tanpa ilmu bela diri atau ilmu mistis tertentu dan juga dapat diartikan tidak menggunakan barang berupa pusaka, sehingga boleh dikatakan bahwa seseorang itu mampu lebih dari kemampuan orang biasa dengan kemampuan yang ada di dalam dirinya sendiri. Ajaran yang disampaikan adalah tentang bagaimana kita memberdayakan segala sesuatu yang ada di dalam diri kita sehingga kita mempunyai kemampuan yang lebih untuk menjalani hidup tanpa mengandalkan kekuasaan atau jabatan untuk menghadapi semua permasalahan hidup yang ada.

Menang tanpa ngasorake
Arti dari kata ngasorake adalah merendahkan atau mengalahkan. Dalam istilah saat ini yang boleh dikatakan sepadan dengan ungkapan Jawa tersebut adalah "win-win solution" yang artinya dua belah pihak merasa menang atau diuntungkan. Ajaran yang ingin disampaikan adalah bagaimana kita mencapai tujuan kita tanpa membuat orang lain merasa dirugikan ataupun direndahkan, dan prinsip hidup ini merupakan salah satu prinsip hidup yang mendasar bagi masyarakat Jawa sehubungan dengan prinsip tepo seliro. Baca juga: Tenggang rasa (tepo seliro)


Sugih tanpa Bandha
Kata sugih dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah kaya atau berkecukupan, sedangkan tanpa bandha terjemahannya adalah tanpa harta benda. Dalam frase inipun arti katanya juga bertolak belakang karena kaya adalah identik dengan mempunyai harta benda yang banyak sedang kata yang lainnya mempunyai arti tidak punya harta benda. Maksud dari ungkapan ini adalah: dalam kehidupan ini harta benda bukanlah segala-galanya, karena memiliki harta benda yang banyak sekali pun tidak akan menjamin ketenteraman dan kebahagiaan hidup ini. Ajaran yang ingin disampaikan adalah untuk mencapai kebahagiaan hidup, kita tidak harus mengandalkan harta benda semata tetapi juga harus kaya di dalam hal yang lainnya juga, misalnya kita kaya dalam hal teman yang banyak, pengetahuan yang banyak, kebaikan yang banyak dan lain sebagainya di luar harta benda.

Sahabat, pemahaman saya barulah sebatas apa yang sudah ditulis di atas tentang ungkapan glurug tanpa bala, sekti tanpa aji, menang tanpa ngasirake, sugih tanpa bandha. Adapun jawaban mengapa saya memberikan judul tulisan ini  4 Sifat Seorang Ksatria Berdasarkan Pepatah Jawa? Karena seorang ksatria itu harus mempunyai keberanian dan tanggung jawab, mempunyai kemampuan dalam dirinya untuk mencapai tujuan, mempunyai sifat yang luhur dan tidak merendahkan orang lain serta tepo seliro dan juga kaya akan pengetahuan, kebaikan serta hal yang baik lainnya. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat, terima kasih.






Selasa, 25 Oktober 2016

Sebuah Tolok Ukur untuk Menghargai Orang Lain - Tepo Seliro

Tepo Seliro


Dalam hal menjalin hubungan antar sesama manusia sering sekali kita mendengar orang berkata "kita harus menghargai orang lain atau kita harus saling menghargai". Menghargai orang lain bukanlah sekedar sebuah slogan yang manis untuk didengarkan, tetapi lebih ke arah sebuah cara pandang, sikap dan perbuatan. Cara kita memandang orang lain adalah awal dari sikap dan perbuatan kita selanjutnya terhadap orang lain. Sebagai contoh cara memandang orang lain, misalnya pada saat kita bertemu dan berkenalan dengan seseorang yang pada saat itu penampilannya terlihat kurang layak dan dalam hati kita berkata "kayaknya ga selevel deh sama saya". Contoh di atas adalah sebuah contoh cara memandang yang tidak baik. Berawal dari cara pandang yang kurang baik tersebut maka sikap dan perbuatan kita terhadap orang tersebut akan terpengaruh menjadi kurang baik juga. Dari sikap dan perbuatan yang dilakukan terhadap orang lain inilah seseorang akan dinilai apakah dia adalah seorang pribadi yang dapat menghargai orang lain atau tidak.
Apakah tolok ukur dalam hal menghargai orang lain? Di dalam masyarakat Jawa ada sebuah falsafah  "Tepo Seliro" yang dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam hal bagaimana kita menghargai orang lain. Apakah tepo seliro tersebut? Tepo seliro adalah sebuah prinsip cara memandang orang lain yang didasarkan pada sebuah pertimbangan "seandainya saya menjadi dia". Menurut pemikiran saya (sekedar otak atik gathuk) tepo seliro berasal dari bahasa Jawa "ditepake neng seliro" yang artinya adalah terapkanlah pada diri sendiri. Jadi yang menjadi tolok ukur dalam menghargai orang lain sebenarnya adalah diri kita sendiri, apa yang kita ukurkan untuk diri sendiri kita ukurkan juga untuk orang lain.


Bagaimana kita menerapkan prinsip tepo seliro tersebut? Cara yang saya pahami mengenai penerapan prinsip hidup ini adalah: sebelum melakukan atau mengatakan sesuatu kepada orang lain hendaklah kita berpikir dan berusaha menempatkan diri kita sebagai orang lain yang berinteraksi dengan kita. Selanjutnya, coba kita rasakan seandainya kita diperlakukan seperti apa yang akan kita lakukan kepada orang lain tersebut, apakah kita merasa senang atau tidak? Sebagai contoh adalah: setiap orang pasti tidak akan merasa senang apabila dipukul, oleh sebab itu janganlah memukul orang lain. Kita tidak senang apabila di bohongi, maka janganlah membohongi orang lain. Atau dapat juga diungkapan jika kita tidak mau dicubit maka janganlah mencubit.


Ajaran dan prinsip tepo seliro ini selalu diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan sebuah tujuan dan harapan terciptanya kerukunan dan keharmonisan antar pribadi yang ada di dalam pergaulan masyarakat Jawa. Didikan ini ditanamkan secara terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari sehingga secara otomatis akan lebih mudah dimengerti dan dicontoh oleh generasi berikutnya. Dengan sistem pengajaran seperti di atas diharapkan setiap masyarakat Jawa mempunyai cara pandang yang sama dalam hal berinteraksi dengan orang lain.


Prinsip tepo seliro seperti yang tertulis di atas  mungkin terlihat sederhana dan mudah, tetapi pada kenyataannya cukup sulit untuk benar-benar menerapkan secara konsisten. Kesulitan dalam menerapkannya lebih dikarenakan sifat dasar manusia adalah egois/mementingkan diri sendiri tanpa peduli dengan orang lain. Dengan perbedaan yang sangat bertentangan tersebut itulah mengapa prinsip tepo seliro harus selalu dilatih setiap saat agar menjadi sebuah sikap dan kebiasan dalam setiap tindakan yang dilakukan. Sebagai kesimpulan dari tulisan ini adalah kita harus mengalahkan kepentingan diri kita untuk dapat menghargai orang lain dan salah satu caranya adalah menerapkan prinsip tepo seliro pada interaksi sehari-hari. Seperti halnya hukum aksi - reaksi atau siapa menabur akan menuai maka dalam hal menghargai orang lain pun berlaku hukum tersebut. Jadi hargailah orang lain dan orang lain pun akan menghargai kita.




Senin, 24 Oktober 2016

Sekedar Saling Memandang - Urip Kuwi Mung Sawang Sinawang

"Urip kuwi mung sawang sinawang"


Ungkapan berbahasa Jawa dalam tulisan di atas adalah apabila di terjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah "hidup itu hanyalah saling melihat satu dengan yang lainnya".

Ajaran yang ingin disampaikan oleh kalimat tersebut di atas adalah mengenai cara pandang tentang bagaimana kita harus dapat mensyukuri kehidupan yang kita jalani, walaupun terkadang kita melihat orang lain seolah lebih baik kondisi kehidupannya dibandingkan dengan kehidupan kita. Mengapa kita harus bersyukur padahal kita seolah iri melihat kehidupan orang lain? Karena sebenarnya kita hanyalah memandang kehidupan orang lain tersebut dari luarnya saja dan dari apa yang bisa kita lihat serta hanya melihat dari sebuah sisi kehidupan saja tanpa kita tahu yang sebenarnya dan sisi yang lainnya secara menyeluruh. Demikian juga orang lain yang kita anggap lebih baik kehidupannya tersebut bisa jadi juga menganggap bahwa kehidupan kita lebih baik dari kehidupannya di sisi yang lain dari sisi yang kita pandang terhadapnya.


Dari sini terlihat bahwa manusia itu hanyalah saling melihat dari luarnya saja tanpa tahu yang sebenarnya serta tidak menyeluruh dari semua aspek kehidupan yang ada, sehingga dari hal tersebut terciptalah suatu ungkapan untuk mengajarkan bahwa apa yang kita lihat dan kita pikir lebih baik di kehidupan orang lain belum tentu itu benar serta belum tentu sesuai juga buat pribadi kita apabila kita diberikan suatu kesempatan menjalani kehidupan orang lain tersebut. Untuk lebih menjelaskan falsafah tersebut mungkin akan lebih mudah apabila digambarkan dengan sebuah contoh: ada dua buah keluarga yang bertetangga, katakanlah keluarga A dan keluarga B. Keluarga A lebih berada atau kaya dari keluarga B tetapi kekuarga B lebih rukun dan harmonis daripada keluarga A. Keluarga B akan melihat bahwa keluarga A lebih beruntung, lebih enak dan lebih bahagia dari keluarganya karena hanya melihat dari sisi keuangannya saja tanpa melihat sisi kehidupan yang lainnya. Sebaliknya, keluarga A melihat keluarga B lebih baik, lebih rukun dan harmonis dibandingkan dengan keluarganya sehingga keluarga A berpikir betapa enaknya keluarga B karena hanya melihat dari satu sisi saja yang lebih daripada keluarganya.

Dari contoh di atas terlihat bahwa kadang kita melihat orang lain lebih dari pada kita dan juga sebaliknya bahwa orang lain melihat bahwa kita lebih daripadanya. Dari sinilah falsafah "Urip kuwi mung sawang sinawang" untuk mengajarkan bahwa tidaklah perlu kita iri terhadap kehidupan orang lain dan juga mengajarkan bahwa kita harus bersyukur terhadap apa yang ada pada kita. Memang kehidupan orang yang satu dengan yang lainnya tidaklah sama, dan masing-masing pastilah mempunyai kekebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri sehingga tidak usah saling iri dan cukup kita mensyukuri kehidupan yang dikaruniakan kepada kita dan meyakini bahwa itu adalah yang terbaik untuk kita.


Demikian pendapat dan pemahaman saya tentang falsafah urip kuwi mung sawang sinawang. Seandainya ada dari pendapat saya di atas yang kurang sesuai mohon untuk berkenan memberikan pendapat dan masukan serta koreksi pada kolom komentar yang tersedia sehingga saya dapat lebih memahami tentang falsafah ini, terima kasih.



Minggu, 23 Oktober 2016

Tujuan Penggunaan 3 Jenis Tingkatan Bahasa Jawa dalam Komunikasi Sehari-hari


Di dalam Masyarakat Jawa diajarkan dan dilatih untuk selalu menghargai dan menghormati orang lain sesuai dengan kriteria tertentu dan didasarkan kepada aturan serta nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang ada. Ajaran untuk menghargai dan menghormati orang lain ini diajarkan secara turun-temurun dari lingkup terkecil yaitu keluarga dan lingkungan pergaulan sosial sehari-hari. Di dalam pendidikan formal yang ada di dalam masyarakat Jawa hal ini juga diajarkan sebagai mata pelajaran khusus yaitu pelajaran Bahasa Jawa. Adapun penghormatan ini akan terlihat dari sikap dan terlebih lagi akan sangat terlihat dari sisi bahasa dalam komunikasi yang dilakukan oleh orang Jawa di dalam kehidupan sehari-hari yang dijalaninya. Dasar kriteria dari penghormatan ini biasanya meliputi usia lawan bicara, kedudukan atau jabatan lawan bicara secara pemerintahan maupun sosial kemasyarakatan, jenjang hubungan dalam silsilah dan lain sebagainya.

Di dalam Bahasa Jawa terdapat 3 tingkatan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Adapun tingkatan bahasa tersebut adalah sebagai berikut: 

1. Bahasa Jawa Ngoko
Bahasa ini adalah tingkatan terendah dari Bahasa Jawa yang biasanya digunakan untuk berkomunikasi antar sesama warga dengan tingkatan tingkatan sosial yang relatif sama maupun boleh digunakan oleh tingkatan yang lebih tinggi ke tingkat yang dibawahnya. Sebagai contohnya adalah: orang tua berbicara kepada anaknya, teman sebaya, orang yang mempunyai jabatan lebih tinggi kepada bawahannya dan sebagainya.


2. Bahasa Jawa Krama/Kromo (madya)
Bahasa ini adalah tingkat tengah dari Bahasa Jawa yang biasanya digunakan untuk berkomunikasi antara orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua secara umur, orang biasa dengan orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dan juga antara seseorang yang lebih muda secara silsilah kepada orang yang lebih tua silsilahnya.


3. Bahasa Jawa Krama Inggil
Bahasa ini adalah tingkatan paling halus atau paling tinggi dalam Bahasa Jawa secara tingkatan Bahasa Jawa yang ada. Bahasa krama inggil ini secara umum jarang digunakan di dalam masyarakat biasa karena bahasa ini sebenarnya adalah bahasa yang digunakan di kalangan ningrat/priyayi atau di kalangan abdi dalem di lingkungan kerajaan.


Beberapa contoh kata dari tingkatan Bahasa Jawa yang sudah diuraikan di atas adalah sebagai berikut:

Mengapa dalam berkomunikasi harus dibedakan secara bahasa yang digunakan di dalam masyarakat Jawa? Pembedaan bahasa ini bukan bermaksud untuk membeda-bedakan golongan dalam masyarakat Jawa, tetapi lebih bertujuan sebagai ungkapan penghormatan dan penghargaan kepada orang-orang yang memang seharusnya dihormati. Hal ini terjadi karena kesadaran mereka bahwa orang-orang tersebut berperanan dalam hidup mereka atau pun dalam kehidupan masyarakat mereka. Sebagai contoh adalah: orang tua harus dihormati oleh anaknya karena orang tua lah yang sudah dengan susah payah membesarkan anak-anaknya, sehingga sangat pantas lah mereka dihormati oleh anaknya. Satu lagi contoh, di dalam masyarakat Jawa terutama di pedesaan "Perangkat Desa" sangatlah dihormati oleh warga desanya karena merekalah yang memikirkan bagaimana desa itu menjadi maju dan mereka juga yang membantu warga dalam segala hal yang ada sehingga sangatlah pantas warga desa menghormati mereka dengan bahasa yang digunakan adalah bahasa krama sebagai perwujudan rasa hormat dan terima kasih.

Demikianlah yang saya ketahui tentang mengapa di dalam masyarakat Jawa terdapat 3 buah tingkatan bahasa dengan tujuan penggunaannya masing-masing. Apabila dalam tulisan saya ini terdapat hal-hal yang masih belum tepat mohon bagi rekan-rekan pembaca untuk memberikan masukan dan tanggapannya dalam kolom komentar agar dapat menambah wawasan dan pengetahuan saya, terima kasih.

Sabtu, 22 Oktober 2016

Alon Alon Waton Kelakon || Fokus terhadap ketercapaian tujuan

"Alon-alon waton kelakon"


Kalimat di atas adalah salah satu prinsip hidup yang sangat melekat pada pribadi masyarakat Jawa dan begitu pula bagi orang lain diluar masyarakat Jawa, sehingga membuat prinsip hidup tersebut di atas menjadi predikat bagi seorang yang berasal dari masyarakat Jawa meskipun dia sudah tidak tinggal di Jawa. 


Pada kesempatan ini saya akan mencoba untuk memberikan pengertian dari falsafah atau prinsip hidup "alon-alon waton kelakon" tersebut menurut yang saya pahami sebagai seorang yang terlahir di dalam masyarakat Jawa. Dengan kalimat ini orang Jawa ingin mengajarkan bahwa dalam mengerjakan segala hal harus fokus pada ketercapaian tujuan/goals yang sudah ditetapkan (waton kelakon). Dalam bahasa Jawa kata "alon-alon" memang berarti pelan-pelan, tetapi dapat juga berarti hati-hati ataupun tidak terburu-buru. Titik berat dari kalimat dalam prinsip hidup ini adalah tercapainya tujuan (kelakon) bukan pelan-pelan nya (alon-alon), dan mengapa dituliskan demikian karena ungkapan tersebut sebenarnya adalah kondisi terburuknya "meskipun pelan yang penting tujuannya harus tercapai", sehingga jangan disalah artikan bahwa orang Jawa menganjurkan untuk berlambat-lambat dalam bekerja. Jadi anggapan bahwa orang Jawa itu lambat dalam bekerja karena kalimat ungkapan prinsip hidup tersebut adalah tidak benar. Dalam kata alon-alon pada kalimat tersebut terkandung juga makna tentang kehati-hatian dalam bertindak serta penuh pertimbangan yang matang sehingga pada saat melakukan pekerjaan tersebut dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan dan tidak harus trial and error karena sudah dipertimbangkan dengan matang. Dalam bahasa Jawa kata "alon-alon" memang berarti pelan-pelan, tetapi dapat juga berarti hati-hati ataupun tidak terburu-buru.


Sebenarnya untuk memaknai sebuah falsafah hidup di kehidupan orang Jawa tidaklah semudah mengartikan sebuah kalimat, tetapi harus juga dilihat dari sisi pola pemikiran dan pola kehidupan serta budaya yang ada di dalam kehidupan masyarakat Jawa. Prinsip hidup ini sudah begitu mengakar di dalam kehidupan masyarakat Jawa dan prinsip ini adalah salah satu prinsip yang saya kagumi dari kearifan hidup mereka.

Diakhir tulisan ini saya berharap bahwa sahabat yang sempat membaca tulisan ini dapat memaknai ungkapan falsafah hidup ini sesuai dengan apa yang diharapkan oleh penciptanya. Apabila ada sesuatu yang kurang berkenan tentang tulisan ini saya mohon maaf dan saya juga mengharapkan masukan dan pendapat dari para sahabat agar saya dapat menambah wawasan tentang falsafah hidup alon-alon waton kelakon.